Senin, 30 Mei 2011

Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Birokrasi


Oleh Widhy Purnama*

KEPEMIMPINAN perempuan menjadi isu publik yang menarik diperbincangkan. Tidak jarang masalah ini memancing polemik dan perdebatan antara kelompok yang pro dan kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah Wilayah, mulai dari tingkat walikota maupun bupati, gubernur hingga presiden. Meski demikian, pengakuan atas hak dasar kemanusiaan tampak mengalami peningkatan yang signifikan diberbagai belahan dunia. Pengakuan ini juga berlaku atas hak perempuan sebagaimana yang sejajar dengan laki-laki.

Doktrin agama seringkali dijadikan untuk membenarkan tindakan tidak adil dan bahkan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan. Doktrin agama dianggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa ditafsirkan, sehingga posisi marginal perempuan dalam Agama dianggap takdir yang tidak dapat diubah. Selain Agama, budaya juga mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial politik yang timpang di masyarakat, sehingga perempuan yang pada posisi lemah hanya bisa bertahan dalam budaya patriarkhi.

Penilaian kapabilitas kepemimpinan seseorang sudah saatnya tidak lagi dilandaskan pada penilaian atas penampilan fisik. Cantik atau tidak cantik, ganteng atau tidak ganteng, sangat tidak relevan dalam konteks political election untuk pemilihan presiden, anggota legislatif, maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah berbeda dengan reality show karena ada banyak persyaratan politik yang mesti dipenuhi oleh setiap kandidat yang ingin maju.

Setiap kandidat bukan hanya harus memiliki kekuatan finansial, popularitas, pengalaman bekerja di birokrasi, pengalaman bisnis, atau bahkan sekadar idealisme atau gelar akademik. Setiap kandidat sudah saatnya harus dilihat dari visi dan misi yang jelas, perencanaan, dan strategi konsep yang tepat. Calon pemimpin perempuan yang berkembang juga harus memiliki sikap dan jiwa kepemimpinan yang kuat, cerdas dan tangkas dalam mengelola organisasi. Selain itu, tentunya, harus memiliki dukungan riil di tingkat partai maupun akar rumput.

Di sisi lain partai-partai politik juga perlu meningkatkan kemampuan dalam menyeleksi sosok yang akan mereka usung. Dengan katakan lain, partai politik juga haarus menggunakan survei obyektif untuk mengikur tingkat popularitas dan elektabilitas bakal calonnya. Semua sisi harus ditelisik secara cermat, termasuk tentunya visi dan misinya, persiapan dan kesiapannya selama ini, sosialisasi yang sudah dijalankan, termasuk bahkan kesiapan tim suksesnya.

Lebih jauh lagi, partai politik juga perlu mengetahui dan mempelajari strategi yang sudah maupun akan dilakukan untuk memenangi pilkada nantinya. Hal ini sangat penting, jika mengingat keberhasilan seorang bakal calon akan dapat mempengaruhi kredibilitas partai politik itu sendiri dalam mempersiapkan kader-kadernya untuk menjadi pemimpin di daerah. Pada gilirannya nanti, hal ini juga akan berkolerasi pada hasil yang akan dicapai pada pemilu di tingkat nasional.

Fakta menunjukkan kader-kader dari partai politik yang sudah mapan, berpengalaman dan memiliki organisasi yang baik, memiliki kesiapan yang lebih baik pada sosok bakal calonnya maupun rencana strategi tim suksesnya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika calon perempuan dari partai politik yang sudah mampan, tampil dengan kepercayaan diri lebih unggul dari lawan-lawannya.

Selain persiapan, juga perlu dicermati kesiapan pemimpin perempuan untuk berada di pucuk pimpinan birokrasi. Cantor dan Bernay (1998) dalam Women in Power mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan sebagai perpaduan antara kompetensi diri, agresi, kreatif, dan kekuasaan perempuan. Anita Roddick dalam Helgesen (1990) Female advantage, women''s ways of leadership mengatakan, perempuan dalam memimpin tidak menghiraukan adanya jenjang hierarki, tetapi menganggap staf sebagai "teman" yang dihargai, yang disebut Roddick feminine principles.

Dalam menjalankan peran sebagai pemimpin, perempuan mempunyai karakteristik, yaitu percaya diri, disiplin, memimpin orang lain bukan menguasai orang lain, bersikap tegas, bekerja untuk kepentingan orang lain, kerja keras, berkompetensi diri, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan. Karakteristik ini pun dikemukakan

De Beauvoir memaparkan, penindasan terhadap perempuan itu ada karena perempuan bekerja tetap diharapkan memainkan peran sebagai istri dan ibu. Kedua peran itu menuntut kewajiban yang berhubungan dengan urusan domestik. Bagi perempuan, bekerja merupakan salah satu cara menunjukkan eksistensi dirinya di tengah masyarakat.

Feminisme eksistensialis menganggap bahwa dengan bekerja, perempuan menolak menjadi objek. De Beauvoir menyebut empat strategi perempuan untuk dapat mengaktualisasikan, yaitu bekerja, menjadi intelektual, menjadi transformator dalam masyarakat, dan menolak internalisasi sebagai objek dalam bentuk apa pun.

Perempuan yang sedang meniti karier selalu berupaya mengatasi hambatan dan kegagalan yang dia hadapi sementara biasanya untuk kegiatan domestik mendapat bantuan orang lain, seperti menitipkan anak kepada orangtua atau pekerja rumah tangga. Bagi Eisenstein, adanya reformasi pada birokrasi tidak hanya adanya perempuan di level atas struktur, tetapi harus ada keterlibatan perempuan dalam penyusunan kembali institusionalisasi yang ada yang berkaitan dengan peran jender.

Adanya hirarki wewenang dalam birokrasi sangat bertentangan dengan ide dasar feminisme, yaitu demokrasi. Posisi perempuan yang masih didominasi laki-laki akan mereproduksi masyarakat patriarki jika tidak diberi perspektif perempuan. Dalam konteks ini, diperlukan pimpinan yang mempunyai visi dan misi yang jelas keberpihakannya kepada perempuan.***

*Jurnalis, tinggal di Banten

0 komentar:

Posting Komentar